Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki
Lima Terhadap Lingkungan di Kota Cirebon
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sistem
Sosial Budaya Indonesia
Dosen : Hj. Hery
Nariyah, Dra., M.Si
Disusun oleh :
Vicry (116090132)
Bella Adinda Dwi Putri (116090138)
Muchammad Hamzah (116090141)
Cakraningrat (116090142)
Imran (116090144)
Tingkat I/Kelas non Reguler
Program Studi Ilmu Administrasi
Negara
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
UNSWAGATI
CIREBON
2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ”Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima
Terhadap Lingkungan di Kota Cirebon”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Sistem Sosial
Budaya Indonesia, yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun
makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga amal kebaikannya
dibalas oleh Allah SWT.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif demi penyusunan makalah selanjutnya.
Akhir kata mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Cirebon, Juni 2017
Penyusun
Daftar isi
Kata pengantar........................................................................................
i
Daftar isi..................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 1
1.3 Tujuan......................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pedagang Kaki
Lima (PKL)....................................................
2
2.2 Keserasian
Lingkungan............................................................
14
BAB III PENUTUP...............................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar
Belakang Masalah
Masalah Pedagang Kaki lima (PKL) tidak kunjung selesai di setiap
daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja
berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya. Keberadaan PKL
kerap dianggap ilegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan
visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan
kerapihan kota atau dikenal dengan istilah 3K. Para Pedagang Kaki Lima (PKL)
yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam
suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di
hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu,
kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya Perda yang melarang
keberadaan mereka.
I.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa
Fungsi/Kegunaan pedagang kaki lima?
2.
Apa
dampak yang ditimbulkanterhadap lingkungan sekitar?
I.3Tujuan
Masalah
1.
Mendeskripsikan
fungsi PKL
2.
Mendeskripsikan
dampak lingkungan yang ditimbulkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pedagang
Kaki Lima (PKL)
Pedagang Kaki Lima (PKL)
merupakan bagian dari salah satu jenis usaha sektor informal yang
meliputi berbagai jenis usaha antara lain pembantu rumah tangga, ojek, pedagang
keliling dll.
a. Pengertian
PKL
Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL) berasal dari jaman Raffles
yaitu “5 (five) feets “yang berarti jalur pejalan kaki dipinggir jalan
selebar lima kaki (Manning, 1996). Kaki tersebut lama kelamaan dipaksa untuk
area berjualan pedagang kecil seperti bakso, mie goreng, warung kelontong,
tambal ban, penjual obat, sepatu, mainan, warung makan dan lain lain. Adapun
pengertian PKL, terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Daerah 1986: Pedagang kaki
lima adalah mereka yang didalam usahanya menggunakan sarana dan atau
perlengkapan yang mudah dibongkarpadang/dipindahkanserta menggunakan
bagianjalan/trotoar, tempatuntuk kepentingan umum yangbukan diperuntukan bagi
tempatusaha atau tempat lain yangbukan miliknya.Berdasarkan Pasal 5Peraturan
Daerah tersebut diatas, perizinan merupakankewenangan dari Walikota, yangtentu
saja setelah mendapat
persetujuan dari pemilik tanahyang
menguasainya terutama jikapemiliknya adalah swasta. Izinyang diberikan
Walikotamempunyai jangka waktutertentu.Selanjutnya pada Pasal 6Peraturan Daerah
disebutkanbahwa pada tempat telah diberi izin, diatasnya tidakboleh didirikan
bangunan semipermanen/permanen. Diatur puladalam Peraturan Daerah
tersebut,bahwa izin tersebut tidak bolehdipindah tangakan kepada siapapun dan
dalam bentuk apapun.
b.
Karakteristik PKL
Karena merupakan bagian dari sektorinformal, maka
secarakarakteristik PKL tidak suka ada bedanyadengan karakteristik sektor
informal.Secara mendasar karakteristik PKL adalahsebagai berikut (Manning,
1996) :
1.
Tidak
terorganisir dan tidakmempunyai ijin
2.
Tidak
memiliki tempat usaha yangpermanen
3.
Tidak
memerlukan keahlian danketrampilan khusus
4.
Modal
dan perputaran usahanyaberskala relatif kecil
5.
Sarana
berdagang bersifatmudah dipindahkan.
Masyarakat
pedagang kaki lima pada umumnya adalah masyarakat yang mencoba bertahan hidup
didalam situasi sesulit apapun dan mereka ini mempunyai mental yang cukup kuat,
apabila mereka dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, mereka akan dengan
mudah mengatasi.
Disatu sisi, masyarakat ini sangat
lemah dari keleluasaan dan juga sangat lemah terhadap hak azazi manusia karena
disatu sisi dia mengharapkan adanya perlindungan untuk berusaha, tetapi disisi
lain mereka mengganggu hak orang lain. Masalahnya kemudian adalah karena
PKL berusaha berusaha dengan memamfaatkan sirkulasi yang ada di kota,
apabila hal ini didiamkan maka akan menjadi masalah serius bagi lingkungan yang
pada akhirnya menjadi masalah serius bagi perkotaan.
Melihat karakteristik masyarakat
ini, kita juga tentunya tidak hanya melihatnya sebagai sampah kota yang
membuat kota menjadi tidak indah, lebih dalam lagi kita justru melihat
suatu aspek kehidupan penunjang masyarakat kota yang senantiasa menghendaki
berbagai fasilitas kehidupan dapat terpenuhi dengan mudah, hal ini sangat erat kaitannya
dengan karakteristik masyarakat dari golongan manapun.
Walaupun Pemerintah
berusaha untuk memberlakukan peraturan apapun, kelompok
masyarakat ini tidak akan pernah bisa mematuhi peraturan ataupun rencana kota
yang tidak memperlihatkan solusi bagi kehidupan PKL, sehingga antara PKL
dengan pemerintah terjadi masalah berkepanjangan, akibatnya pertumbuhan
pedagang ini semakin subur dan menjadi lahan bagi aparat pemerintah dan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
c. Pola
Sebaran, Pelayanan, Waktu dan Sarana Berdagang PKL
1.
Pola
penyebaran PKL secaraembrional tumbuyang mempunyai potensikonsentrasi
masyarakat denganjenis dagangan mulai darijumlah dan jenis yang minimalhingga
berkembang denganskala yang lebih besar.
2.
Waktu
berdagang biasanyamulai jam 08.00 WIB hinggajam 16.00 WIB, disamping itu ada
pula yang memulaimembuka dagangannya padahingga malam hari, malahada yang
nyaris semalamsuntuk.
3.
Pola
pelayanan para PKL dengancara langsung mendasarkandaganganya sehingga
konsumendapat langsung memilih, menawardan bertransaksi. Adapun yangberupa
warung makan terkadangpembeli duduk pada area badan jalanyang merupakan
perluasan dari trotoar.
4.
Sarana
fisik PKL dalam menjajakanbarang dagangannya menggunakanmaterial yang relatif
sederhanabiasanya menggunakan barang bekasseperti (spanduk, iklan dansebagainya).
Adapun bentuk saranadagang berupa : gerobak, meja,tenda, kios, gelaran dan
lain-lain.
Ketidak seimbangan pembangunan perkotaan dengan pedesaan membawa
dampak terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan sektor informal. Kota Cirebon
sebagai pusat kota jasa membawa dampak logis, yaitu tingginyaurbanisasi dan
sulitnya memperoleh kesempatan kerja formal di perkotaan, dipihak lain sektor
informal ini masih tergolong usaha yang memberi dampaknegatif pada lingkungan,
walaupun dilihat dari tingkat penyerapan tenagakerja bisa mencapai 83% dari
kesempatan kerja di perkotaan. Kesulitan yangdihadapi para pengusaha sektor
informal dalam hal ini pedagang kakilima
(PKL) pada umumnya adalah masalah lokasi tempat berdagang. Kurangnyamodal,
kurangnya pengetahuan/keterampilan dan sikap mental(entrepreneurship)
serta kurangnya sarana dan prasarana.Pedagang kakilima membuka usahanya dengan
mempergunakanbagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum yang bukandiperuntukan
untuk usaha, serta tempat lain yang bukan miliknya. Itulahsebabnya keberadaan
pedagang kakilima di wilayah Kota Cirebon merupakanproblematika yang sulit
dipecahkan secara baik dan komperhensip.
1. Ciri
Pedagang Kakilima :
a.
Pedagang
kakilima pada umumnya mempunyai modal kecil dan tidak mempunyai usaha menetap,
berdagang di emperan/depan toko, di pinggiran jalan, trotoar, di atas got, di
taman, bantaran kali dan di areal parkiran dan tempat-tempa orang ramai.
b.
Jam
berdagang tidak tentu, ada pagi, ada siang, sore dan malam hari bahkan ada yang
dari pagi sampai sore hari dengan berbagai macam jenis dagangan.
c.
Jenis
dagangan beraneka ragam, ada jajanan (makanan proses), tanaman hias/ikan hias,
pakaian jadi, sepatu, tas, kerajinan, buah-buahan dan lain-lain.
d.
Tempatnya
dalam bentuk bangunan ada yang tertutup, terbuka,menggunakan payung, gelaran,
gerobak, pikulan, meja dan sebagainya, konstruksi bangunan darurat, semi
permanen dan tanpa bangunan.
e.
Pada
umumnya pedagang kakilima menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, lalu
lintas, ketertiban dan kebersihan.
Pedagang kakilima sulit untuk dihapuskan, karena merupakan jenis
pekerjaan transisi yang tidak selalu membutuhkan keterampilan. Yang penting
adalah kepercayaan antara pemodal dan pelaku, dalam hal ini tidak selalu modal
sendiri. Lokasi kegiatannya tersebar pada lingkunganlingkungan yang berbeda,
tetapi pada umumnya di lingkungan industry, pusat-pusat perdagangan, kawasan
pemukiman bahkan pada lingkunganperumahan elite. Meskipun keberadaannya
menimbulkan masalah lingkungan, namun pada hakekatnya juga merupakan salah satu
aktivitas ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja. Serta dibutuhkan oleh
masyarakat golongan menengah ke bawah bahkan menengah ke atas.
2.
Faktor-faktor penyebab orang berdagang kakilima :
a.
Karena
sulitnya mencari lapangan kerja formal.
b.
Pekerjaan
pedagang kakilima dipandang relatif mudah dilakukan karena tidak membutuhkan
modal yang besar, tidak membutuhkan biaya yang banyak untuk membangun tempat,
tidak memerlukan izin yang formal. Kewajiban restribusi dianggap masih relatif
murah dan terjangkau.
c.
Selain
masyarakat masih membutuhkannya karena alasan-alasan tertentu seperti harga di
kakilima cukup murah dan jaraknya dekat dengan pembeli, serta barang masih asli
dan baru seperti hasil pertanian.
d.
Sarana
perpasaran formal masih kurang mencukupi terutama di wilayah pemukiman.
e.
Berusaha
sebagai pedagang kakilima dapat dianggap kerja sambilan dan latihan pengalaman
menjadi wiraswasta.
Fenomena PKL
1.
Kesulitan
memperoleh lokasi merupakan masalah utama kelompok
2.
pedagang
kakilima ini karena lahan di perkotaan terbatas dan sudah diatur
3.
peruntukannya
berdasarkan Rencana Tata Ruang, sehingga penggunaan
4.
lokasi
yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sudah barang tentu
5.
menimbulkan
dampak negatif.
Dari
fenomena PKL dan masalah yang ada diatas, Pemerintah Kota/daerah mengeluarkan
kebijakan yang isinya antara lain :
1.
Pedagang
Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2.
Kios
kios tersebut disediakan secara gratis.
3.
Setiap
kios setiap bulan ditarik retribusi
4.
Bagi
Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini
dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.
Solusi
nya dalam relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi
hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakan adalah penciptaan forum
stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke
proses pengambilan keputusan. Seperti yang di usung oleh pemkot Surakarta dan
telah berhasil dalam merelokasi PKL nya tanpa adanya anarkisme, dan masalah
yang berkelanjutan yang lain dengan istilah kebijakan ‘nguwongke uwong’.
3. Pedagang
Kaki Lima Sebagai Mitra Kerja
Aldwin Surya dalam tulisannya yang berjudul Dilema Pedagang Kaki
Lima menceritakan tentang sejarah PKL. Surya menggambarkan bahwa sebutan
pedagang kaki lima awalnya berasal dari para pedagang yang menggunakan gerobak
dorong yang memiliki tiga roda. Di atas kereta dorong itulah ia meletakkan
berbagai barang dagangannya, menyusuri pemukiman penduduk dan menjajakannya
kepada orang-orang yang berminat. Dengan dua kaki pedagang kakilima plus tiga
roda kereta dorong itulah, mereka kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima.
Namun, pengertian PKL dan area tempat mereka berdagang telah mengalami banyak
pergeseran. Seiring dengan peningkatan populasi penduduk, PKL bermunculan di
banyak tempat, memanfaatkan tiap celah yang dinilai memberi peluang untuk
menjual dagangannya. Mereka pun tidak lagi harus menggunakan kereta dorong.
SeInfokop Nomor 29 Tahun XXII, 2006 lanjutnya dikisahkan, dengan berbekal
plastik, koran/kardus bekas atau apa saja yang boleh digunakan sebagai alas
dagangannya, mereka siap menggelar barang dagangan, sabar menunggu pembeli dan
berharap cepat laku. Beberapa pedagang kaki lima memilih .menjemput bola.
dengan cara menjadi pedagang asongan. Oleh karena itu, lokasi para pedagang
kaki lima sangat bervariasi seperti dapat dijumpai di pasar-pasar
tradisional,emperan toko, di pojok jalan, kawasan perumahan, di pintu jalan
masuk tol, di persimpangan lampu merah (traffic light), bahkan di sekitar
sekolah dan rumah sakit.
Aldwin Surya menguraikan bahwa PKL
adalah pahlawan bagi keluarganya. Mereka mengajarkan keteladanan kepada
keluarganya bahwa kehidupan yang semakin berat dapat dilalui bila mau bekerja
keras, tabah dan sabar. Mereka adalah sosok yang tidak cepat menyerah,
realistis dan penuh semangat. Meski beban kehidupan semakin berat, semua
dilakoni tanpa banyak mengeluh. Bagi mereka, esok berpeluang memberi kehidupan
lebih baik.
Mereka sebenarnya orang-orang yang
patuh, tidak mengeluh saat oknum-oknum tertentu mengutip iuran dari PKL.
Bukankah kharakterristik seperti ini memungkinkan untuk tumbuh menjadi
pengusaha besar? Bila demikian halnya, kenapa mereka tidak dijadikan sebagai
mitra kerja bagi pemerintah. Baik sebagai mitra dalam menertibkan preman,
kebersihan kota, keindahan kota, maupun dalam menertibkan penerimaan retribusi
atau pendapatan asli daerah (PAD).
Pada hakekatnya PKL bukanlah semata-mata kelompok masyarakat yang
gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi
perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu
pelaku dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi
perkotaan. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik
ketimbang menjadi pekerja di sektor formal kelas bawah. Masalah yang muncul
berkenaan dengan PKL ini lebih banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk
mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan tata ruang perkotaan
yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang
menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk
sektor informal termasuk PKL. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh
sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang
untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor
informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota.
4. Pedagang
Kaki Lima Sebagai Part Of Solution
PKL atau dalam bahasa inggris di sebut street hawker atau street
trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya,
keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali nampak masalah-masalah
yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh,
liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label yang melekat pada
usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di
jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali
menertibkan mereka yang ditengarai menjadipenyebab kemacetan lalu lintas
ataupun merusak keindahan kota. Dan selalu dipandang sebagai bagian dari
masalah (part of problem).
5. Dampak
positif dan negatif dari adanya PKL :
Dampak Positif :
Sektor informal Pedagang Kaki Lima
(PKL) merupakan sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang
tidak tertampung dalam sektor formal, sehingga dapat mengurangi angka
pengangguran.
PKL menjadi katup pengaman bagi
masyarakat perekonomian lemah baik sebagai profesi maupun bagi konsumen untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama akibat krisis ekonomi.
PKL menyediakan kebutuhan barang dan
jasa yang relatif murah bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Jumlah yang besar, ragam bentuk
usaha dan keunikan merupakan potensi yang besar untuk menghias wajah kota,
apabila ditata dan diatur dengan baik.
PKL dapat memberikan rasa aman yang
menjadi barrier untuk keamanan aktivitas pedagang formal karena kontiunitas
kegiatannya hampir 24 jam.
PKL memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang beraktivitas di sekitar lokasi PKL
PKL tidak dapat dipisahkan dari
unsur budaya dan eksistensinya tidak dapat dihapuskan.
PKL menyimpan potensi pariwisata
yang cukup besar.
Dampak Negatif :
Media dagang yang tidak estetis dan
tidak tertata dengan baik menimbulkan kesan semrawut dan kumuh, akibatnya
menurunnya kualitas visual kota.
Lokasi berdagang sebagian PKL yang
memakai badan jalan yang tidak semestinya menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Lokasi berdagang yang menggunakan
pedestrian, trotoar dan taman menyita hak para pejalan kaki.
Menggeser fungsi ruang publik.
Keberadaan PKL yang tidak terkendali
mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga dapat timbul tindak
kriminal (pencopetan).
Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang
formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti
pinggir jalan dan depan toko.
Berdasarkan dampak yang
ditimbulkannya tersebut, Dampak positif terlihat dari segi sosial dan ekonomi
karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor
informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis. Hal tersebut, menurut
Sethurahman selaku koordinator penelitian sektor informal yang dilakukan ILO di
delapan negara berkembang, karena kemampuan menciptakan surplus bagi investasi
dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan
usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan
kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan
sumber daya ekonomi yang besar.
Adapun dampak negatif yang
ditimbulkan oleh PKL tersebut dilihat dari aspek spasial. Pertumbuhan PKL
berimplikasi terhadap permasalahan ruang yang harus disediakan oleh kota,
karena biasanya PKL menempati lokasi-lokasi yang sudah memiliki fungsi lain
dengan kegiatan yang cukup tinggi yaitu area-area strategis perkotaan seperti
pusat kota, trotoar sepanjang jalan, dan ruang publik yang ramai dilewati orang
menjadi tempat pilihan PKL untuk mengembangkan usahanya sehingga pada akhirnya
terjadilah penurunan kualitas ruang kota
Upaya penertiban, sebagaimana sering
diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat
perlawanan fisik dari PKL sendiri Bersama dengan komponen masyarakat lainnya,
tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya bila
keberadaannya ditata dengan dngan baik, keberadaan PKL ini justru akan
menambah keindahan kota. Hal ini dapat terjadi apabila PKL dijadikan sebagai
bagian dari solusi (part of solution).
Apa yang harus dilakukan Pemerintah
terkait keberadaan Pedagang Kaki Lima?
Berdasarkan dampak yang
ditimbulkannya tersebut, sebenarnya dapat dikatakan bahwa eksistensi PKL perlu
dipertahankan, hanya saja perlu diupayakan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkannya
sehingga pengelolaan PKL harus direncanakan dengan baik. Oleh karena itu,
langkah yang dapat dilakukan adalah menertibkan PKL sehingga fungsinya dalam
aspek ekonomi dapat berjalan namun tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
kualitas ruang perkotaan.
Pedagang Kaki Lima merupakan Masalah
Atau Solusi bagi pemerintah?
Sebagai bagian dari pengembangan
pembangunan daerah, maka kota merupakan pusat pembangunan sektor formal,
sehingga kota dipandang sebagai daerah yang lebih menjanjikan bagi masyarakat
desa. Kota bagaikan mempunyai kekuatan magis yang mampu menyedot warga desa,
sehingga terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota. Kondisi tersebut di
atas dikenal dengan teori faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik
(pull factor) dalam urbanisasi. Akan tetapi kota tidak seperti apa yang
diharapkan kaum migran. Tenaga kerja yang banyak tidak bisa sepenuhnya
ditampung sektor formal. Lapangan kerja formal yang tersedia mensyaratkan
kemampuan dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal, sehingga
tenaga kerja yang tidak tertampung dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya
memilih sektor informal. Fakta yang dapat dilihat adalah adanya ketidakmampuan
sektor formal dalam menampung tenaga kerja, serta adanya sektor informal yang
bertindak sebagai pengaman antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja,
sehingga dapat dikatakan adanya sektor informal dapat meredam kemungkinan
keresahan sosial sebagai akibat langkanya peluang kerja (Noor Effendy,
2000:46).
Sektor formal diwadahi dalam ruang
formal sesuai dengan yang telah diatur dalam RDTRK, sedangkan sektor informal
belum terakomodasi dalam wadah serta aturan kebijakan pengelolaan yang rinci.
Sektor informal merupakan suatu fenomena umum yang tak dapat terhindarkan di wilayah
perkotaan. Pengertian sektor informal menurut Kamus Tata Ruang (1997: 97)
adalah usaha pelayanan tidak resmi yang dilakukan perorangan dengan tujuan
untuk memperoleh imbalan terhadap jasa atau bantuan pelayanan yang
diberikannya. Keberadaan sektor ini disebabkan oleh ketidakmampuan sektor
formal dalam menyerap tenaga kerja yang semakin hari semakin bertambah atau
sebagai akibat dari arus urbanisasi. Salah satu sektor informal dalam bidang
perdagangan dan jasa yang sering dijumpai di kota adalah Pedagang Kaki Lima
(PKL) yang senantiasa tumbuh subur memilih lokasi untuk berdagang dengan
memanfaatkan lahan kota yang potensial. Hal tersebut dikarenakan belum
terdapatnya aturan tentang wadah yang dapat menampung aktivitas PKL dalam suatu
ruang informal di Rencana Tata Ruang Kota (RTRK). Dalam beraktivitas PKL
tersebut memanfaatkan trotoar, badan jalan serta depan pertokoan tanpa
memperhatikan ruang aktivitas yang terjadi di sekitarnya, sehingga
mengakibatkan berbagai macam permasalahan.
2.2 Keserasian
Lingkungan
a. Pengertian
Suatu tatanan fisik lingkungan yang serasi adalah merupakan tatanan
berbagai komponen fisik yang ada pada suatu lingkungan (dalam hal ini koridor
jalan) yang mana masing-masing komponen yang ada sesuai dengan standar yang
benar dan tertata dengan baik, sehingga menjadikan rasa nyaman dan aman bagi
para penggunanya/orang yang beradapada lingkungan tersebut.
b.
Faktor-Faktor Pendukung
Faktor keserasian lingkungan (environtment
compatibility)
menyangkut beberapa aspek termasuk
didalamnya asri, bersih, tertib, sehat dan aman. Serasi menindikasikan adanya
tatanan yang “cantik” menjadikan timbulnya pendangan yang bagusdan menarik
dengan nuansa penuh estetika. Peran tatanan dan lansekap mempunyai andil yang
besar dalam mendukung konsep keserasian seperti yang dikatakan oleh seorang
pakar lansekap Garret Eckbo (1964) : “Trees are nature air conditioners,
they moderate the climate, reducing extrems of head, wind, aridity and glare”.
Pohon peneduh dan tanaman yang ada pada trotoar tidak hanya mempunyai peran
factor iklim/panas, tetapi juga pada estetika lingkungan karena unsure tanaman
tersebut dapat meredusir panas maupun penyeimbang unsur keras dari material
jalan (aspal). Ruang publik tempat interaksi sosial masyarakat dituntut dapat
mengakomodasi aktivitas dinamis dan statis yang sesuai dengan karakteristik
kegiatannya. Juga memperhatikan kebutuhan akan rasa aman secara sosial maupun
fisik dari para pengguna yang beragam. Keserasian tatanan trotoar perlu
diperhatikan dengan dapat memberikan ruang tidak hanya para pejalan tetapi
dapat digunakan sebagai tempatduduk, bertransaksi dan melakukan aktivitas yang
lain (bersosialisasi). Untuk faktor keindahan(aesthetics) dapat
digolongkan menjadi tiga kategori (Eckbo, 1964), yaitu :
a) Sensory aesthetics, yaitu
suatu keindahan yang berkaitan dengan sensasi menyenangkan dalam lingkungan,
meliputi suara, warna, tekstur dan bau.
b) Formal aesthetics,
keindahan danmemperhatikan apresiasi dari bentuk, ritme,
komplesitas dan hal-hal yang
berkaitan dengan sekuens visual. Dalam menilai suatu karya arsitektur lebih
banyak berbicara mengenai formal aesthetics.
c) Symbolic aesthetics,meliputi
apresiasi meaning dari suatu lingkungan yangmembuat perasaan nyaman.
Berdasarkan data yang dimiliki Forum
Pedagang Kaki Lima (FPKL) Kota Cirebon, tercatat sebanyak 2.500 pedagang yang
tersebar di sejumlah titik. Penyebaran mereka yakni dengan alasan ketiadaan
tempat yang rata-rata menempati trotoar sebagai area berjualan.
Meski demikian, Sekda tak menampik,
jika keberadaan PKL terutama yang aktivitasnya ‘memakan habis’ trotoar telah
menyebabkan hak para pejalan kaki di Kota Cirebon hilang. Oleh karenanya,
Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon sendiri telah menyusun program trotoarisasi
dengan menargetkan bebas PKL pada tahun ini. Adapun program trotoarisasi, kata
Sekda, di antaranya melakukan pembenahan fisik trotoar yang penganggarannya
bersumber dari dana alokasi khusus (DAK).
Keterbatasan lokasi
Meski begitu, di sisi lain, Pemkot
terkendala keterbatasan lokasi akibat luas kota yang kecil. “Tahun ini, kami
utamakan di tiga titik lainnya. Di antarannya PKL di kawasan Cipto, Kawasan
Bima dan Taman Krucuk. Semoga proyek tersebut bisa segera menyusul,” paparnya.
Sementara itu, Ketua FPKL Kota
Cirebon, Erlinus Thahar menyebutkan, terdapat sekitar 2.500 pedagang di Kota
Cirebon dan 80 persen di antaranya merupakan warga kota. Meski demikian,
dirinya tak menampik bahwa sebagian besar PKL menempati trotoar sebagai area
berjualan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pedagang kaki lima (PKL) yang kerap berada di pinggir jalan,
memberikan manfaat tersendiri dkepada masyarakat sekitar. Memang keberadaannya
memudahkan serta meringankan biaya transportasi yang dikeluarkan untuk membeli
keperluan tertentu. Tapi keberadaan mereka yang kerap melanggar peraturan yang
berlaku, kerap kali menyebabkan yang namanya masalah. Utamanya yang akan di
bahas di sini adalah keberadaan dan aktivitas PKL yang berdampak pada
lingkungan yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu, meskipun sudah ada
peraturan yang mengatur, oknum yang bersangkutan perlu memberi ketegasan.
Karena dalam suatu penataan ruang, salah satu indkator suatu kota mengalami
kemunduran dalam penataannya dapat di lihat dari menjamurnya jumlah PKL.
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini banyak disebabkanoleh
kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan, sehinggakelompok PKL
cenderung menempati badan jalan dan trotoar bahkanbantaran sungai.
Dengan modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, kerap
mengundangpedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau
orangkalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitarrumah
mereka.
Saran
Dengan
mengetahui dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, terlebih kepada lingkungan
yang ada. Selain berpedoman dengan atura-aturan yang berlaku, oknum serta
pemerintah diminta ketegasannya untuk menertibkan dan memindahkan lokasi PKL ke
tempat yang seharusnya. Sudah cukup dengan penurunan kualitas ingkungan, tidak
perlu lagi sumbangsih dari PKL.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://e-journal.unswagati-crb.ac.id/dosen.php?detail=dosen&id=596&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=Iskandar%20Zulkarnaen.pdf